Feeds RSS

Kamis, 22 Juli 2010

kanker nasofaring


KANKER NASOFARING

DEFINISI

Kanker nasofaring adalah tumor ganas yang tumbuh di daerah nasofaring dengan predileksi di fossa rossenmuller dan atap nasofaring.

Kanker nasofaring adalah keganasan pada faring bagian atas (nasofaring)

Karsinoma nasofaring adalah kegananasan yang terjadi pada nasofaring berada diantara belakang hidup dan esophagus.

ETIOLOGI

· Virus Epstein barr

· Life style seperti rokok dan alcohol

· Konsumsi makanan yang salah (defisiensi vit. A, E, C dan B12 (riboflavin))

· Kontak dengan zat karsinogen seperti bensophyrene, gas kimia, asap pabrik, asap obat nyamuk, asap rokok dan nirosamin

· Keturunan dan ras

· Factor lingkungan

· Genetic

EPIDEMIOLOGI

· Di indonesia kanker nasofaring merupakan tumor ganas terbanyak dibidang THT. Penyakit ini merupakan tumor ganas urutan ke 5 terbanyak untuk tumor ganas seluruh bagian tubuh dengan angka kematian tertinggi.

· Penyakit ini dapat mengenai semua golongan umur, banyak terjadi pada decade 4 dan 5 dengan perbandingan laki laki dan perempuan 2 : 1 sampai 4 : 1.

· Hampir sekitar 90 % masyarakat di negara berkembang mengalami kanker nasofaring.

· Sekitar 2500 kasus baru kanker nasofaring ditemukan pertahunnya.

PATHOFISIOLOGI (perjalanan penyakit)

Pada ca nasofaring kebiasaan (life style) seperti rokok, alcohol, konsumsi makanan yang salah, kontak dengan zat karsinogen serta virus diduga menjadi factor pencetus adanya kanker nasofaring (presipitasi), sedangkan genetic merupakan salah satu factor predisposisi dari penyakit ini.

Zat karsinogen seperti bensophyrene, gas kimia, asap pabrik, asap obat nyamuk, nitrosamine serta virus mengadakan kontak dengan sel yang normal (inisiasi) sehingga memicu terjadinya mutasi atau perubahan sel sel tersebut. Factor genetic dan orang tua diwariskan kepada generasi selanjutnya melalui transmisi autosomal resesif dan autosomal dominan sehingga esar kemungkinan keturunannya mewarisi gen yang abnormal, begitu juga dengan factor mengkonsumsi makanan yang salah atau rendah vitamin sehingga tidak ada yang dapat berperan sebagai antioksidan yang dapat melindungi sel sel dari zat karsinogen, sedangkan tar (getah tembakau) yang mengandung substansi hidrokarbon yang dapat lengket dan menempel disaluran nafas hingga dapat terjadinya iritasi. Alcohol dapat berubah menjadi senyawa asetil dehid yang bersifat toxic.

Factor di atas menyebabkan gangguan fungsi DNA dan RNA sebagai pembawa informasin dan informasi itu sendiri diperlukan untuk replikasi dan duplikasi sel yaitu kode kimia yang dibutuhkan untuk perkembangan dan pertumbuhan sel, akibatnya terjadi disfungsi informasi biologis dan dapat menyebabkan metaplasia sel atau pergantian ephitelium squamosa. Kekacauan sel dapat terjadi dan akhirnya pertumbuhan yang normal dari sel sel pun tidak terkendali. Pertumbuhan sel yang teratur dalam satu kapsul disebut dengan tumor. Sel yang sudah mengadakan invasi ke jaringan sekitar disebut dengan kanker (maligna). Sel kehilangan fungsi khas mereka karena tidak sama dengan sel induk.

Kanker dapat melakukan invasi ke dalam saluran dan pembuluh darah sehingga pembuluh darah menjadi rapuh dan dapat terjadi perdarahan. Selain itu dapat terjadi depresi tulang belakang akibat metastasis, sehingga produksi leukosit, eritrosit, dan trombosit terganggu. Menurunnya system imun akibat leucopenia membuat individu rentan terkena infeksim perfusi O2 terganggu karena hb yang rendah mengakibatkan keletihan.

PENENTUAN STADIUM KARSINOMA NASOFARING

Menurut UICC tahun 1997 dengan klasifikasi TNM stadium karsinoma nasofaring ditentukan sebagai berikut :

1. T menggambarkan keadaan tumor primer, besar, dan luasnya

- T1 : tumor terbatas pada nasofaring

- T2 : tumor meluas ke orofaring dan atau fosa nasal

T2a : tanpa perluasan ke parafaring

T2b : dengan perluasan ke parafaring

- T3 : invasi ke struktur tulang dan atau sinus paranasal

- T4 : tumor meluas ke intracranial dan atau mengenai saraf otak,fosa infratemporal hipofaring atau orbita

2. N menunjukkan kelenjar limfe regional

- N0 : tidak ada pembesaran kelenjar

- N1 : terdapat pembesaran kelenjar ipselateral <>

- N2 : terdapat pembesaran kelenjar bilateral <>

- N3 : terdapat pembesaran kelenjar > 6 cm atau ekstensi ke supraklavikular

3. M menggambarkan metastasis jauh

- M0 : tidak ada metastasis jauh

- M1 : terdapat metastasis jauh

Menurut TNM tersebut diatas, stadium penyakit dapat ditentukan sebagai berikut :

stadium I : T1, N0, M0

stadium IIA : T2, N0, M0

stadium IIB : T1, N1, M0 atau T2a, N1, M0 atau T2b, N0-1, M0

stadium III : T1-2, N2, M0 atau T3,N0-2, M0

stadium IVA : T4, N0-2, M0

stadium IVB : Tiap T, N3, M0

stadium IVC : Tiap T, tiap N, M1

Histopatologi karsinoma nasofaring

Melihat struktur histopatologis maka karsinoma dibagi menjadi beberapa jenis sesuai dengan pembagian WHO yaitu :

WHO 1 : Karsinoma sel sel squamosa, berkeratin di dalam maupun diluar sel. sel sel kanker berdiferensiasi baik sampai sedang.

WHO 2 : Termasuk adalah karsinoma non keratin. sel sel kanker berdiferensiasi baik sampai sedang.

WHO 3 : Karsinoma berdeferensiasi jelek dengan gambaran sel kanker paling heterogen. karsinoma anaplastik, clear cell karsinoma dan variasi sel spindle.

Tingkatan dari kanker adalah :

stadium 0 : sel kanker masih berada dalam batas nasofaring biasa disebut nasofaring in situ.

stadium 1 : sel menyebr di bagian nasofaring.

stadium 2 : sel kanker sudah menyebar pada lebih dar nasofaring ke rongga hidung, dapat pula sudah menyear di kelenjar getah bening pada satu sisi leher.

stadium 3 : kanker ini sudah menyerang pada kelenjar getah bening di semua sisi leher.

stadium 4 : kanker ini sudah menyebar di syaraf dan tulang sekitar wajah.

Sabtu, 10 April 2010

STROKE HAEMORRAGIC

SIRKULASI DARAH OTAK

Otak menerima 17 % curah jantung dan menggunakan 20 % konsumsi oksigen total tubuh manusia untukmetabolisme aerobiknya. Otak diperdarahi oleh dua pasang arteri yaitu arteri karotis interna dan arteri vertebralis dan dalam rongga kranium, keempat arteri ini saling berhubungan dan membentuk sistem anastomosis, yaitu sirkulus Willisi. Arteri karotis interna dan eksterna bercabang dari arteria karotis komunis kira-kira setinggi rawan tiroidea. Arteri karotis interna masuk ke dalam tengkorak dan bercabang kira-kira setinggi kiasma optikum, menjadi arteri serebri anterior dan media. Arteri serebri anterior memberi suplai darah pada struktur-struktur seperti nukleus kaudatus dan putamen basal ganglia, kapsula interna, korpus kolosum dan bagian-bagian (terutama medial) lobus frontalis dan parietalis serebri, termasuk korteks somestetik dan korteks motorik. Arteri serebri media mensuplai darah untuk lobus temporalis, parietalis dan frontalis korteks serebri.

Arteria vertebralis kiri dan kanan berasal dari arteria subklavia sisi yang sama. Arteri vertebralis memasuki tengkorak melalui foramen magnum, setinggi perbatasan pons dan medula oblongata. Kedua arteri ini bersatu membentuk arteri basilaris, arteri basilaris terus berjalan sampai setinggi otak tengah, dan di sini bercabang menjadi dua membentuk sepasang arteri serebri posterior. Cabang-cabang sistem vertebrobasilaris ini memperdarahi medula oblongata, pons, serebelum, otak tengah dan sebagian diensefalon. Arteri serebri posterior dan cabang-cabangnya memperdarahi sebagian diensefalon, sebagian lobus oksipitalis dan temporalis, aparatus koklearis dan organ-organ vestibular (Price, 1995).







3. Epidemiologi

Di Amerika Serikat setiap tahunnya terdapat sekitar 200.000 kasus kematian disebabkan oleh stroke. Stroke merupakan penyebab kematian ketiga tersering di negara ini. Diperkirakan sekitar 2 juta orang di Amerika Serikat menderita gangguan neurologis akibat stroke, sekitar 50% dari semua orang dewasa yang di rawat di Rumah Sakit saraf disebabkan oleh penyakit pembuluh darah. Penyebab utama yang paling sering adalah aterosklerosis, embolisme, dan hipertensi yang dapat menimbulkan perdarahan intraserebral dan ruptur anurisme sekuler. Stroke biasanya disertai penyakit lain seperti hipertensi, penyakit jantung, peningkatan lemak dalam darah atau diabetes mellitus (Price, 1995).

Berdasarkan data dari seluruh dunia, statistiknya bahkan lebih mencolok penyakit jantung koroner dan stroke adalah penyebab kematian tersering pertama dan kedua dan menempati urutan kelima dan keenam sebagai penyebab kecacatan. Menurut WHO mengisyaratkan bahwa faktor utama yang berkaitan dengan ”epidemi” penyakit kardiovaskular adalah perubahan global dalam gizi dan merokok, ditambah urbanisasi dan menuanya populasi. Lain lagi dengan The National Stroke Assosiation menunjukkan penjelasan bahwa resiko stroke meningkat seiring dengan usia bahwa perempuan hidup lebih daripada laki – laki (Price, 2005).

B. Narasi Patofisiologi Dan Skema

Stroke timbul dari proses patologi pada pembuluh darah serebral seperti trombus, emboli, arterosklerosis, yang mengakibatkan sumbatan pembuluh darah otak dan pecahnya pembuluh darah otak. Otak yang bergantung pada oksigen tidak mempunyai cadangan yang cukup sehingga fungsi otak menurun. Sumbatan pembuluh darah otak menyebabkan hipoksia dan anoksia akibatnya terjadi ischemik jaringan ditandai dengan tekanan perfusi rendah, PO2 menurun, PCO2 meningkat dan terjadi penimbunan asam laktat sehingga merangsang pusat vasomotor dan tekanan darah sistemik meningkat dan mengakibatkan bradikardi, pernafasan lambat, gangguan kesadaran, hemiparese dan infark jaringan yang permanen.

Pecahnya pembuluh darah otak dapat mengakibatkan perembesan darah ke dalam parenkim otak. Perdarahan tersebut membuat pengaliran cairan darah keluar dari pembuluh darah yang normal ke jaringan sekitarnya (ekstravasasi darah) di daerah intracerebral dan subarachnoid akan menekan dan menggeser jaringan otak serta dapat terjadi peningkatan TIK sehingga dapat menyebabkan iritasi jaringan otak, sehingga akan mengakibatkan vasospasme pada arteri di sekitar perdarahan dan herniasi otak sehingga timbul kematian. Di samping itu akibat dari pecahnya pembuluh darah menyebabkan terjadinya edema serebri, spasme pembuluh darah otak dan penekanan pada daerah tersebut menimbulkan aliran darah berkurang atau tidak ada sehingga terjadi infark haemorhagik. Edema otak dapat meningkatkan TIK yang ditandai dengan sakit kepala, mual, dan muntah (Price, 1995).

Meningkatnya TIK menimbulkan tanda – tanda dan gejala yang multiple. penurunan LOC adalah tanda yang paling awal dan paling sensitive. Ada 3 keadaan yang khas pada perubahan tingkat kesadaran (Level of Consciousness/LOC) diantaranya persisten vegetative, locked in syndrom dan brain death. Persisten vegetative state adalah keadaan dimanan timbul setelah terjadi trauma berat pada otak. Pasien bisa mengalami ”sleep-wake cycles” dan membuka matanya. Adanya sleep-wake menunjukkan brainstem berfungsi (ada pernafasan, relexes) tetapi tidak ada fungsi cognitive (berpikir, bicara dan bertingkah laku) maka pasien ini tidak mampu mengadakan interaksi dengan lingkungannya. Locked in syndrom, jalur motoris pada brainstem mengalami kerusakan tetapi fungsi kognitive masih utuh. Pasien tidak bicara atau bergerak karena kerusakan jalur motoris tetapi dia bisa mengadakan interaksi dengan lingkungannya. Brain death dikatakan brain death apabila ditentukan oleh suatu negara sesuai hukum yang berlaku di negara itu telah terpenuhi. Seperti diketahui penyebab dari koma agar penyebab yang reversible seperti hipotermia atau over dosis obat dapat dikesampingkan, tidak ada respon stimuli dari luar, tidak ada brainstem reflexes dan tidak ada usaha bernafas dengan adanya hypercapnea. Makin meningkatnya TIK makin tertekan pula pembuluh darah serebral sehingga jaringan – jaringan otak tidak memperoleh dupply darah yang cukup. Perfusi jaringan yang tidak adekuat menimbulkan peningkatan PCO2, penurunan O2, Penurunan pH. Apabila hal ini terjadi maka dapat mengakibatkan volume darah intrakranial meningkat. Peningkatan darah intrakaranial akan mengakibatkan makin bertambahnya tekanan intrakranial.

Penurunan kesadaran menunjukkan tanda awal dari meningkatnya TIK. Terganggunya supply darah pada otak membuat otak kurang mampu mengadakan respon terhadap stimuli. Kegagalan termoregulator karena kompresi batang otak adalah tanda akhir dari tekanan TIK yang meningkat. Kompresi pada lobus frontal dan parietal sistem saraf perifer akan mengakibatkan hilangnya fungsi motorik dan sensorik. Tekanan TIK yang makin meningkat akan diteruskan ke mata melalui CSF dalam subarachnoid space dan ke optik disc yang mengakibatkan papilledema. Tanda ini adalah tanda akhir dari TIK yang meningkat.

(Baradero,2003)

D. Collaborative Care Management

1. Diagnostic test

a. Angiografi cerebral : Menentukan penyebab stroke secara spesifik seperti perdarahan / obstruksi arteri.

b. CT Scan kepala : Memperlihatkan adanya edema, hematoma, ischemia dan adanya infark.

c. Punksi lumbal : Menunjukkan adanya tekanan normal dan biasanya ada trombosis, emboli serebral, TIA, tekanan meningkatkan dan cairan yang mengandung darah menunjukkan adanya hemoragik subarachnoid / perdarahan intrakranial.

d. MRI : Menunjukkan daerah yang mengalami infark, hemoragik, malformasi arteriovena (MAV).

e. EEG : Mengidentifikasi masalah didasarkan pada gelombang otak dan mungkin memperlihatkan daerah lesi yang spesifik.

f. Ultrosonografi doffler : Mengidentifikasi penyakit arteriovena.

(Doenges, 2000)

2. Medication

a. Ticlid yang lebih efektif dari aspirin dalam mencegah stroke dan mengurangi terulangnya penyakit.

b. Aktivitas plasminogen jaringan /t - Pa, aktivasi yang digunakan secara ekspremental untuk memecahkan pembekuan darah.

c. Anticonvulsan dapat mengobati kejang seperti delantin/barbiturat.

d. Kortikosteroid seperti decadron untuk meminimalkan radang otak.

e. Analgesik seperi codein sulfat untuk meredakan sakit kepala yang biasanya mengikuti stroke hemoragik. (Cooper, 1996)


3. Surgery

Penderita stroke trombosis/emboli kemungkinan harus menjalani pembedahan enderektomi karotis untuk perbaikan sirkulasi otak. Dokter mengangkat aterosklerosis (bagian yang merusak dinding arteri sebelah dalam) (Cooper, 1996). Craniotomi dilakukan sesuai dengan lokasi di aneurysma yang pecah kemudian ditemukan melalui craniotomi, leher aneurysma diikat baru kemudian dibuang untuk mencegah terjadinya ruptur berulang. Tindakan shunt bisa dilakukan sehingga pertimbangan mengurangi tekanan intrakranial dan mengatasi hidrosefalus (Price, 1995). Prosedur revaskularisasi dilakukan untuk meningkatkan aliran darah regional ke daerah – daerah tempat sirkulasi terganggu (Price, 2005).

4. Treatment

Penanganan dalam pendekatan pada pencegahan primer adalah mencegah dan mengobati faktor – faktor resiko yang dapat dimodifikasi. Hipertensi adalah faktor resiko yang paling prevalen dan telah dibuktikan bahwa penurunan tekanan darah memiliki dampak yang sangat besar pada resiko stroke. Sedangkan pencegahan sekunder mengacu kepada strategi untuk mencegah kekambuhan stroke. Pendekatan utama adalah mengendalikan stroke (Price, 2005).

5. Diet

Cairan dibatasi beberapa hari pertama upaya untuk mencegah edema otak. Pasien dengan coma atau menderita kesukaran menelan diperlukan cairan melalui NGT/intavena. Bila kesadaran pasien lebih baik, makanan dan cairan diberikan sedikit demi sedikit kemudian kembali kepada diet reguler (Price, 2005).

6. Activity

Pasien yang mengalami perdarahan intraserebral memerlukan istirahat baring untuk mencegah timbulnya kembali perdarahan. Pasien dengan ischemik stroke perlu diimobilisasi 48 jam setelah stroke. Tindakan collaborative dari dokter, perawat, dan occupational therapist dilaksanakan (Baradero,2003).

7. Health education

Tantangan yang paling besar bagi pasien dan keluarga timbul setelah mereka melewati tahap akut dari stroke. Keluarga diikutsertakan dalam pengajaran dan membantu aktivitas klien, perlu dijelaskan kepada keluarga secara realistis semua defisit yang dialami pasien (Long, 1996).

E. Nursing Management

1. Assessment

Data subjectif

1. Health history, termasuk hipertensi, CAHD, diabetes, transient ischemic attack (TIA).

2. Obat – obat yang dimakan.

3. Kejadian sekitar stroke.

4. Gejala-gejala – onset, sifat, dan beratnya.

5. Visual diplopia, kabur dan seterusnya.

6. Kemampuan konsentarsi, ingatan, mengikuti instruksi.

7. Respon emosional.

8. Tingkat kesadaran.

9. Family dan social support, status finansial, dan insurance.

Data objektif

1. Kekuatan motor – adanya paresis atau paralysis…ringan , berat.

2. Koordinasi – jalan, keseimbangan.

3. Kemampuan berkomunikasi – bisa bicara dan mengerti.

4. Cranial nerve assessment termasuk gag reflex, swallow reflex, gerakan otot – otot muka, leher, dan mengedip mata.

5. Pengendalian bledder dan bowel.

2. Nursing Diagnosis

1. Terganggunya perfusi jaringan otak sehubungan dengan terputusnya darah arterial.

2. Self – care deficit (feeding,bathing,toileting) sehubungan dengan gangguan neuromuscular dan sensory – perceptual.

3. Kesulitan menelan sehubungan dengan kelemahan otot – otot oral dan leher.

4. Komunikasi verbal terganggu sehubungan dengan aphasia.

5. Urinary continence sehubungan dengan gangguan stimulasi neurologis.

3. Expected Patient Outcome

a. Mempertahankan perfusi cerebral yang ditandai dengan tidak adanya tanda – tanda peningkatan tekanan intrakranial dan vital sign yang stabil.

b. Mampu memakai alat bantu dan strategi – strategi dalam melakukan ADL secara independent.

c. Mampu memakai kursi roda, tongkat, atau alat – alat bantu yang lain untuk mempertahankan mobilitas.

d. Food and fluid intake adekuat untuk mempertahankan berat badan dan memenuhi kebutuhan nutrisi.

e. Mampu memakai cara komunikasi selain komunikasi verbal.

f. Bila mengadakan kompensasi untuk deficit visual dan persepsi spatial dan tidak mengalami trauma.

g. Pulih urinary continence.

h. Bisa melakukan kegiatan – kegiatan social yang sesuai dengan kemampuannya (Baradero,2003).

4. Nursing Intervention

1. Pantau dan catat neurologis sesering mungkin dan bandingkan dengan kekuatan normalnya.

R/ mengetahui kecenderungan tingkat kesadaran dan mengetahui luas lokasi dan kemajuan/resolusi kerusakan SSP.

2. Pantau vital sign, catat adanya hipertensi/hipotensi, frekuensi dan irama jantung terhadap murmur, apnea setelah hiperventilasi, pernafasan chynestokes

R/ hipertensi/hipotensi bila terjadi karena syok (kolaps sirkulasi vaskular) peningkatan TIK dapat terjadi edema atau adanya formasi bekuan darah.

3. Evaluasi pupil, catat ukuran, bentuk, kesamaan, dan reaksi terhadap cahaya. Catat juaga perubahan dalam penglihatan seperti perubahan lapang pandang.

R/ gangguan penglihatan yang spesifik mencerminkan daerah otak terkena, mengidentifikasi keamanan yang harus mendapatkan perhatian dan mempengaruhi instruksi yang akan dilakukan.

4. Letakkan kepala dengan posisi agak ditinggikan dalam posisi anatomis

R/ menurunkan tekanan arteri dengan meningkatkan drainase dan meningkatkan perfusi serebral.

5. Cegah mengejan saat defekasi dan batuk terus – menerus.

R/ manuver valsava bisa menyebabkan peningkatan TIK.

6. Ubah posisi minimal setiap 2 jam.

R/ mencegah dekubitus.

7. Bantu mengembangkan keseimbangan duduk meninggikan bagian kepala tempat tidur.

R/ membantu dalam melatih kembali saraf, meningkatkan respon motorik dan propioseptif.

8. Perhatikan kesalahan dalam komunikasi dan berikan feedback.

R/ pasien mungkin kehilangan kemampuan mengontrol komunikasi yang diucapkan. feedback membantu merealisasikan kenapa perawatan tidak berespon sesuai dan memberikan klasifikasi.

9. Bicaralah dengan nada yang normal dan hindari percakapan yang cepat

R/ mencegah klien frustasi dan marah.

10. Anjurkan penunjang/orang terdekat mempertahankan usahanya untuk berkomunikasi dengan pasien.

R/ mengurangi isolasi pasien dan meningkatkan penciptaan komunikasi yang efektif.

11. Letakkan pasien pada posisi duduk selama dan setelah makan.

R/ mencegah refluk kesaluran nafas.

12. Anjurkan pasien menggunakan sedotan untuk meminum cairan.

R/ menguatkan otot fasil dan otot menelan dan menurunkan resiko terjadinya tersedak.

13. Hindari melakukan aktivitas yang bisa dilakukan pasien sendiri, tetapi berikan bantuan sesuai kebutuhan.

R/ mempertahankan harga diri dan meningkatkan pemulihan.

14. Kolaborasi pemberian obat vasodilator perifer antispasmodik

R/ memperbaiki sirkulasi sistemik.

5. Evaluation

Tercapainya patient outcome yang bisa ditandai dengan :

a. Vital sign dan tidak ada tanda – tanda peningkatan tekanan intrakranial.

b. Dapat mobilisasi, ambulasi atau bisa memindahkan diri dari dari tempat tidur ke kursi roda dengan alat bantu.

c. Dapat melakukan ADL dengan alat bantu.

d. Tidak mengalami cidera.

e. Berpartisipasi dengan keluarga dan teman – teman dalam interaksi sosial (Carpenito, 2000).